Kamis, 12 Juni 2014

Perjalanan SMP Takhassus Al Qur’an Filial Pagedangan Part II



 Menghidupi Masjid Sunyi Sembari Mencerdaskan Negeri

...Apabila seorang hamba telah menikah, berarti dia telah menyempurnakan separuh agamanya, maka hendaklah dia bertaqwa kepada Allah pada separuh sisanya...
Sabda Rasulullah SAW diriwayatkan Baihaqi

            Sebaris hadist di atas memang tidak diucapkan oleh Kyai Thoharun, tetapi sebaris kata-kata sederhana sang Kyai mengingatkan penulis akan hadist tersebut. Ketika jama’ah Jammujass terus bertambah, banyak orang tua yang ingin menitipkan putra putrinya pada Kyai Thoharun untuk nyantri. Tetapi Kyai Thoharun yang waktu itu masih belum menikah menjawab dengan sederhana. “Ngesok bae nek nyong wes mbojo! (Besok saja kalau saya sudah menikah!)” Kalimatnya mengantarkan kita pada hikmah yang panjang. Bahwa santri adalah amanah. Santri adalah amanah semesta. Di mana ia tidak mampu untuk memikulnya seorang diri.
 
Kyai Thoharun
        Dalam Al Qur’an anak dapat dikelompokkan dalam 4 tipologi. Salah satunya adalah anak sebagai penyejuk mata (Qurrota a’yun). Ketika seseorang sudah bersedia menerima seorang santri, berarti ia telah bersedia dilimpahi amanat yang luar biasa. Sudah semestinya ia bertanggungjawab untuk mengasuh serta mendidik anak sehingga terbentuklah keturunan yang zurriyyah thayyibah. Memegang amanah, itulah sesungguh-sungguhnya tugas manusia. Seperti terkandung dalam Surat Al-Anfal ayat 27 “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghianati Allah dan Rasul, dan juga janganlah kamu menghianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui" Dan sesungguhnya Al Qur’an yang agung menyimpan pesan-pesan amanah lebih banyak lagi.
     
Kehadiran ustadzah Mahmudah dalam kehidupan Kyai Thoharun tidaklah berhenti pada pencarian tulang rusuk. Bisa jauh lebih dari itu. Seperti tertulis dalam sebuah syair penyair sufi Jalaludin Rumi, ‘wanita adalah seberkas sinar Tuhan: dia bukanlah kekasih duniawi’. Ustadzah Mahmudah ibarat seberkas sinar yang membuat Kyai Thoharun semakin lapang menyusuri jalan dakwah. Di penghujung tahun 1997, beliau menikahi Ustadzah Mahmudah. Membangun sebuah keluarga yang diramaikan para santri. Doa-doa, puji-pujian, dzikir menjadi nada-nada bilik rumah tangga mereka.
Kyai Thoharun bersama teman-temannya sewaktu muda.
Pawit, Lumayan, Banar, Regeng adalah beberapa nama dari sekian hitungan santri-santri yang dulu tinggal satu rumah dengan keluarga baru Kyai Thoharun dan Ustadzah Mahmudah. Tahun 1997-1998, tercatat sekitar 100 anak telah nyantri. Rumah beliau adalah pondok pesantren tidak bernama. Beliau sendiri menegaskan memang tidak pernah berpikir masalah bangunan fisik. Ikatan emosional-lah yang rutin dan rajin ia rajut. Membangun rasa nyaman, aman, tentram pada para santrinya, agar mereka kerasan. “Untuk apa pusing-pusing memikirkan bangunan, toh tempat yang abadi di kuburan!” dan tawa di penghujung kalimatnya menyimpan makna. Meski beliau sendiri juga tidak menampik, jika memang ada, tidak ada salahnya membangun bangunan yang kuat dan baik. Ibarat burung dan sarangnya, bagi beliau, merawat burung tetaplah yang paling utama untuk dipikirkan terlebih dahulu, bukan sarangnya.

***
Telah lama tidak hidup. Sepuluh tahun sebelum akhirnya Kyai Thoharun membawa keluarganya yang riuh menghampiri. Dan masjid itupun hidup kembali.

Tahun dua ribu tiga, seseorang pemuda dari desa Dempel bertamu di rumah sang Kyai. Membawa sebuah kabar berupa bungkusan tantangan iman. Sebuah masjid berdiri kokoh di tengah hutan rimbun. Di mana para umat telah lama meninggalkannya dan membangun yang baru. Masjid dalam dekapan desa masing-masing, bukan masjid yang dipeluk pepohonan dan sungai. Ma’rufin melontarkan tanya yang sesungguhnya adalah harapan. Mungkin juga sebuah harap yang diamini doa pendiri masjid, almarhum KH Ali Ibrahim bin KH Hasan Tholabi. “Beranikah Pak Kyai, tinggal dan menghidupkan masjid itu lagi? Karena tidak ada warga yang berani.”
Seorang santri sedang berlarian di depan masjid Dempel
Bukan kata berani ataupun tidak berani yang Kyai berikan. Tetapi sebuah kebulatan tekad. Niat. Bersama putri sulungnya, Tholi’atul Bati’ah yang masih berusia lima tahunan serta sebelas santri iapun mengetuk pintu masjid yang telah lama sunyi itu. Tepatnya di Karang Kadempel, sebuah tempat di dusun Pagedangan, Tumenggungan, Selomerto, Wonosobo, Jawa Tengah. Jalan demi jalan pendakian menuju kedekatan diri dengan Allah coba dilalui. Bersama alam yang bertafakur, sang Kyai dan para santri selama seminggu ber-taqarrub ila Allah. Jalan tazkiyatun nafsi dibentangkan, dilalui dengan menabur istighfar, iltija’, zikir, serta muhasabah.
Sepekan lamanya, sang Kyai segera mengambil keputusan. Salah satu yang menjadi dasar keputusannya adalah jawaban anak gadis berusia lima tahunan, Bati’ah. Anak yang dibawa jauh dari ibu, saudara-saudara, serta teman-teman sepermainannya itu diberi kebebasan oleh sang Kyai. Apakah ia ingin kembali ke Bendosari, berkumpul kembali dengan ibunya ataukah menetap di Dempel. Gadis kecil itu rupanya telah menyatu dengan derit batang-batang bambu serta siulan burung-burung pipit. Ia tidak mau kembali ke Bendosari. Jadilah Kyai Thoharun mantap memboyong seluruh keluarga dan para santrinya untuk tinggal di Dempel. Membangun angkruk (gubug kayu) menempel di sisi masjid untuk ditempati.
Para santri sedang berkumpul di sekitar komplek ponpes dan angkruk. Masjid Dempel terlihat dari samping.
Angkruk itu kemudian bernama Pondok Pesantren Matholi’ul Anwar Wonosobo. Masjid Dempel yang dulunya sunyi menjadi riuh. Namun, hidupnya kembali masjid Dempel, yang ramai oleh doa dan dzikir belumlah cukup. Menilik peran sebuah masjid agung di Madinah, masjid Nabawi. Sejarah mencatat tidak kurang dari sepuluh peranan telah diemban masjid Nabawi; yaitu tempat ibadah, tempat konsultasi, komunikasi masalah ekonomi sosial budaya, tempat pendidikan, santunan sosial, dan lain-lain. Maka satu peran kemudian ditambahkan lagi untuk masjid Dempel. Yakni pusat pendidikan. Tahun 2011 sang Kyai resmi merintis sebuah sekolah fillial yang menginduk pada Sekolah Takhassus Al  Qur’an Kalibeber Mojotengah Wonosobo. Dengan nama SMP Takhassus Al Qur’an Filial Pagedangan, sekolah ini merupakan perjuangan Kyai Thoharun untuk turut mencerdaskan generasi bangsa, dengan tidak meninggalkan nilai-nilai luhur kehidupan pesantren. To Be Continued
Penulis: E. Sumaryati
Editor : I. Hastomi 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar