Menghidupi Masjid Sunyi Sembari
Mencerdaskan Negeri
“...Apabila
seorang hamba telah menikah, berarti dia telah
menyempurnakan separuh agamanya, maka
hendaklah dia bertaqwa kepada Allah pada separuh sisanya...”
Sabda Rasulullah SAW diriwayatkan Baihaqi
Sebaris
hadist di atas memang tidak diucapkan oleh Kyai Thoharun, tetapi sebaris
kata-kata sederhana sang Kyai mengingatkan penulis akan hadist tersebut. Ketika
jama’ah Jammujass terus bertambah, banyak orang tua yang ingin menitipkan putra
putrinya pada Kyai Thoharun untuk nyantri. Tetapi Kyai Thoharun yang waktu itu
masih belum menikah menjawab dengan sederhana. “Ngesok bae nek nyong wes mbojo!
(Besok saja kalau saya sudah menikah!)” Kalimatnya mengantarkan kita pada
hikmah yang panjang. Bahwa santri adalah amanah. Santri adalah amanah semesta. Di
mana ia tidak mampu untuk memikulnya seorang diri.
Dalam Al Qur’an anak dapat
dikelompokkan dalam 4 tipologi. Salah satunya adalah anak sebagai penyejuk mata
(Qurrota a’yun). Ketika seseorang sudah bersedia menerima seorang santri,
berarti ia telah bersedia dilimpahi amanat yang luar biasa. Sudah semestinya ia
bertanggungjawab untuk mengasuh serta mendidik anak sehingga terbentuklah
keturunan yang zurriyyah thayyibah. Memegang
amanah, itulah sesungguh-sungguhnya tugas manusia. Seperti terkandung dalam
Surat Al-Anfal ayat 27 “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghianati
Allah dan Rasul, dan juga janganlah kamu menghianati amanat-amanat yang dipercayakan
kepadamu, sedang kamu mengetahui" Dan sesungguhnya Al Qur’an yang agung menyimpan
pesan-pesan amanah lebih banyak lagi.
Kyai Thoharun bersama teman-temannya sewaktu muda. |
Pawit, Lumayan, Banar, Regeng adalah beberapa nama dari
sekian hitungan santri-santri yang dulu tinggal satu rumah dengan keluarga baru
Kyai Thoharun dan Ustadzah Mahmudah. Tahun 1997-1998, tercatat sekitar 100 anak
telah nyantri. Rumah beliau adalah pondok pesantren tidak bernama. Beliau
sendiri menegaskan memang tidak pernah berpikir masalah bangunan fisik. Ikatan
emosional-lah yang rutin dan rajin ia rajut. Membangun rasa nyaman, aman,
tentram pada para santrinya, agar mereka kerasan. “Untuk apa pusing-pusing
memikirkan bangunan, toh tempat yang abadi di kuburan!” dan tawa di penghujung
kalimatnya menyimpan makna. Meski beliau sendiri juga tidak menampik, jika
memang ada, tidak ada salahnya membangun bangunan yang kuat dan baik. Ibarat
burung dan sarangnya, bagi beliau, merawat burung tetaplah yang paling utama
untuk dipikirkan terlebih dahulu, bukan sarangnya.
***
Telah lama tidak hidup. Sepuluh tahun sebelum akhirnya Kyai Thoharun
membawa keluarganya yang riuh menghampiri. Dan masjid itupun hidup kembali.
Tahun dua ribu tiga, seseorang pemuda dari desa Dempel bertamu
di rumah sang Kyai. Membawa sebuah kabar berupa bungkusan tantangan iman.
Sebuah masjid berdiri kokoh di tengah hutan rimbun. Di mana para umat telah
lama meninggalkannya dan membangun yang baru. Masjid dalam dekapan desa
masing-masing, bukan masjid yang dipeluk pepohonan dan sungai. Ma’rufin
melontarkan tanya yang sesungguhnya adalah harapan. Mungkin juga sebuah harap
yang diamini doa pendiri masjid, almarhum KH Ali Ibrahim bin KH Hasan Tholabi.
“Beranikah Pak Kyai, tinggal dan menghidupkan masjid itu lagi? Karena tidak ada
warga yang berani.”
Seorang santri sedang berlarian di depan masjid Dempel |
Bukan kata berani ataupun tidak berani yang Kyai berikan.
Tetapi sebuah kebulatan tekad. Niat. Bersama putri sulungnya, Tholi’atul
Bati’ah yang masih berusia lima tahunan serta sebelas santri iapun mengetuk
pintu masjid yang telah lama sunyi itu. Tepatnya di Karang Kadempel, sebuah
tempat di dusun Pagedangan, Tumenggungan, Selomerto, Wonosobo, Jawa Tengah. Jalan
demi jalan pendakian menuju kedekatan diri dengan Allah coba dilalui. Bersama
alam yang bertafakur, sang Kyai dan para santri selama seminggu ber-taqarrub ila Allah. Jalan tazkiyatun nafsi dibentangkan, dilalui
dengan menabur istighfar, iltija’, zikir, serta muhasabah.
Sepekan lamanya, sang Kyai
segera mengambil keputusan. Salah satu yang menjadi dasar keputusannya adalah jawaban
anak gadis berusia lima tahunan, Bati’ah. Anak yang dibawa jauh dari ibu,
saudara-saudara, serta teman-teman sepermainannya itu diberi kebebasan oleh
sang Kyai. Apakah ia ingin kembali ke Bendosari, berkumpul kembali dengan
ibunya ataukah menetap di Dempel. Gadis kecil itu rupanya telah menyatu dengan
derit batang-batang bambu serta siulan burung-burung pipit. Ia tidak mau
kembali ke Bendosari. Jadilah Kyai Thoharun mantap memboyong seluruh keluarga
dan para santrinya untuk tinggal di Dempel. Membangun angkruk (gubug kayu) menempel di sisi masjid untuk ditempati.
Para santri sedang berkumpul di sekitar komplek ponpes dan angkruk. Masjid Dempel terlihat dari samping. |
Angkruk itu kemudian bernama Pondok Pesantren Matholi’ul Anwar
Wonosobo. Masjid Dempel yang dulunya sunyi menjadi riuh. Namun, hidupnya
kembali masjid Dempel, yang ramai oleh doa dan dzikir belumlah cukup. Menilik
peran sebuah masjid agung di Madinah, masjid Nabawi. Sejarah mencatat tidak
kurang dari sepuluh peranan telah diemban masjid Nabawi; yaitu tempat ibadah,
tempat konsultasi, komunikasi masalah ekonomi sosial budaya, tempat pendidikan,
santunan sosial, dan lain-lain. Maka satu peran kemudian ditambahkan lagi untuk
masjid Dempel. Yakni pusat pendidikan. Tahun 2011 sang Kyai resmi merintis
sebuah sekolah fillial yang menginduk pada Sekolah Takhassus Al Qur’an Kalibeber Mojotengah Wonosobo. Dengan
nama SMP Takhassus Al Qur’an Filial Pagedangan, sekolah ini merupakan
perjuangan Kyai Thoharun untuk turut mencerdaskan generasi bangsa, dengan tidak
meninggalkan nilai-nilai luhur kehidupan pesantren. To Be Continued
Penulis: E. Sumaryati
Editor : I. Hastomi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar