Minggu, 08 Juni 2014

Catatan Perjalanan SMP Takhassus Al-Qur’an Filial Pagedangan



Sebuah pengantar:
Pada kesempatan ini, admin berkesempatan menulis catatan Perjalanan SMP Takhassus Al-Qur’an Filial Pagedangan. Catatan dibagi menjadi tiga bagian, bagian pertama tentang sosok perintis, bagian kedua awal mula perjalanan, dan bagian ketiga bagaimana SMP Takhassus Al-Qur’an Filial Pagedangan menjawab tantangan zaman yang semakin bergulir. Selamat membaca dan semoga bermanfaat.

Part 1
Mengenal Kyai Thoharun  Al Assyadz

“Bacalah tanda-tanda alam, bacalah dirimu sendiri, bacalah sejarah, bacalah apapun, yang penting ‘bismi rabbika’ (dengan nama Tuhanmu).”
Kutipan yang banyak diyakini sebagian ulama dalam menafsirkan perintah ‘Iqra’ ini sengaja dihadirkan untuk membuka kisah perjalanan Kyai Thoharun  Al Assyadz. Kyai yang merintis berdirinya SMP Takhassus Al-Qur’an Filial Pagedangan ini dibesarkan alam dan ditempa keadaan. Sebuah lagu ejekan semasa kanak-kanak selalu saja membuatnya tertawa hingga saat ini, ‘Budin opo telo, Wahudin ndase dowo’. Saat itu, anak-anak bernyanyi sambil tertawa sembari menunjuk-nunjuk gudik bernanah di kepala Kyai Thoharun  kecil. Sampai saat ini, bekas gudiknya masih bisa dilihat di balik lebat rambut ikalnya yang panjang. Tetapi, bekas luka akibat “diremek kehidupan”, malah tidak tampak pada diri kyai gondrong ini. Sebaliknya, beliau selalu tampak begitu yakin dan ‘bungah’ dengan kehidupan yang beliau jalani. 

Kyai Thoharun Al Assyadz saat bersama siswa SMP Takhasus Pagedangan saat memeriahkan penutupan classmeeting [dok: SMP Taq FP]
Tapi siapa sangka, Kyai Thoharun  kecil yang dulu gudiken, ngompolan dan penyakitan mampu mendirikan pondok pesantren putra/putri Matholi’ul Anwar Wonosobo dan SMP Takhassus Al Qur’an Filial Pagedangan. Bahkan, di tahun ajaran mendatang, beliau berencana mendirikan MA Matholi’ul Anwar Wonosobo. Dan ketika ditanya, sesungguhnya apa kelebihan pak kyai hingga bisa mendirikan ponpes dan juga sekolah? Maka dengan bangga beliau menjawab. “Kelebihan saya? Kyai mana yang rambutnya gondrong? Cuma saya,” ungkapnya dengan suara sedikit berat tapi lantang dan seringkali diikuti gelak tawa nyaring.


Kyai Thoharun  kecil lahir di Dusun Kunci, Kecamatan Kertek, Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah dari pasangan Jamroh dan Siti Aminah. Beliau adalah anak terakhir dari 5 bersaudara. Di usianya yang masih belia, beliau sudah tertarik mengamati orang-orang di sekelilingnya. Dengan kemampuan berpikir seorang anak kelas 3 SD, beliau membuat sebuah kesimpulan yang menjadi titik tolak pencariannya dalam hidup. “Bahwa orang yang biasa ibadah, hidupnya nyaman, damai. Sedangkan banyak orang yang tidak ibadah hidupnya tidak tenang, meski hartanya berlimpah. Kebanyakan dari mereka hidupnya busik. Nah, maka saya memutuskan untuk jadi orang yang hidup damai, mulailah saya ngaji”. Semenjak itu, Kyai Thoharun  kecil kemudian rajin mengikuti kelompok-kelompok pengajian di desanya.

Kyai Thoharun Al Assyadz saat bersama siswa SMP Takhasus Pagedangan saat memeriahkan penutupan classmeeting [dok: SMP Taq FP]
Ketika memasuki jenjang pendidikan MTs tahun pertama, beliau memutuskan untuk meninggalkan bangku sekolah. Kemudian timbullah niatnya untuk nyantri. Namun pada waktu itu, seorang tetangga justru berceloteh tentang kakak Kyai Thoharun  yang baru saja pulang dari nyantri di pondok pesantren. ‘Mondok suwe-suwe balik mangan opo? (Nyantri lama-lama pulang makan apa?)” Kyai Thoharun  yang beranjak remaja menyikapi pertanyaan itu dengan positif. Di dalam benaknya beliau menjawab ‘aku tak mondok wae, ben muleh iso mangan watu! (aku mau nyantri saja, biar pulang bisa makan batu!)’ Kyai Thoharun  yang saat itu hidup hanya dengan ibu-nya, karena sang bapak menikah lagi, memilih berhenti sekolah dan memantapkan niat nyantri di Pondok Pesantren At-Thayyib, Salaman, Magelang.
Tiga hari menjadi santri, beliau langsung mendapatkan sebuah ujian. Kyai pengasuh pondok kala itu mewajibkan setiap santri untuk berbahasa krama pada orang tua masing-masing. Perintah kyai waktu itu menjadi beban tersendiri baginya. Seumur hidup, beliau tidak pernah ‘basa’ dengan orang tuanya. Di hari kelima, bapaknya datang untuk menjenguk. Ia pun menemui bapaknya dengan perasaan campur aduk. Beliau nekad akan ‘basa’ dengan bapaknya. Maka saat menjemput sang bapak di pemberhentian bus, beliau segera menyapa dengan basa jawa halus. Namun, baru satu kalimat ‘basa’ yang keluar dari mulutnya, tawa sang bapak langsung pecah. Seketika itu pula, karena malu, Kyai Thoharun  pun kembali menggunakan bahasa sehari-harinya. Sambil di dalam hatinya terus meminta maaf pada sang Kyai. 
Bu Nyai Ustadzah Mahmudah bersama putra putrinya. [Dok: SMP Taq FP]

Jika pulang ke rumah, sebelum sampai di rumah dan berbicara dengan orang tuanya, beliau meminta kakaknya untuk mengatakan pada orang tuanya agar tidak banyak berbicara kepadanya. Karena beliau tidak mau melanggar perintah sang Kyai, maka jika di rumah beliau sebisa mungkin berbahasa krama. Meski kata yang beliau ucapkan hanyalah ‘inggih’, ‘mboten’, ‘dereng’, ‘sampun’ dan sebagainya. Semua tak luput dari sikap hormatnya pada sang Kyai.
Tidak lama nyantri di Salaman, Kyai Thoharun  memutuskan untuk pindah ke Tegalrejo. Beliau masuk ke Asrama Perguruan Islam (API). Di ponpes yang disebut-sebut pernah menjadi tempat nyantri Gus Dur ini, Kyai Thoharun  banyak mengambil pelajaran. Kebiasannya mengamati dan membaca tidak pernah hilang. Beliau melihat kekuatan API berasal dari kekompakan keluarga KH. Chudlori bin Chudori. Dalam hati Kyai Thoharun  selalu mencatat, “maklum API besar, karena keluarganya kompak, guyup rukun, dan bersatu”.
Kyai Thoharun saat mendampingi lomba fashion show dalam rangka class meeting. [Dok: SMP Taq FP]


Selanjutnya, Kyai Thoharun  memilih untuk melakukan perjalanan. Pada tahun 1987-1988 Kyai Thoharun  sudah berada di Batu Ampar, Madura. Perjalanan selanjutnya adalah Surabaya. Dari Surabaya, beliau pindah ke Jember kemudian Tasikmalaya. Beliau melakukan perjalanan kurang lebih 3 tahun. Sebagian besar perjalanannya diisi dengan ziarah. Satu keyakinan yang bisa membuatnya kuat melakukan perjalanan adalah, beliau selalu mempunyai prasangka baik pada Allah. Dan menurutnya, cara mendapatkan kebaikan itu belum tentu di tempat yang baik. Maka perjalanan demi perjalanan beliau lalui.
Pulang dari perjalanan, beliau kembali ke dusunnya, Kunci. Kala itu, satu dua dan tiga temannya datang berkunjung. Ada yang mengajak berdiskusi, share masalah, atau sekadar berbincang-bincang. Tetangga pun mulai bergunjing. Hingga sebuah julukan diberikan pada Kyai Thoharun. ‘Kyai Thoharun  gaweane ongkang-ongkang, nek ora ono tamu ora iso mangan’ (Kyai Thoharun  itu pekerjaannya nganggur, kalau nggak ada tamu nggak bisa makan). Bukan Kyai Thoharun  jika tidak menyikapi semua dengan positif. Beliau menjadikan gunjingan tetangga itu sebagai sebuah motivasi. Maka ia pun makin sering berkumpul-kumpul dengan teman-temannya. Dengan orang-orang yang seringkali datang ke rumahnya.
Ketika beliau pindah ke Bendosari, rumahnya kerap kali dipenuhi orang. Dari satu dua orang, lambat laun bertambah hingga mencapai 500 an orang. Kegiatan pun bertambah, dari awalnya yang hanya berkunjung, bertambah kegiatan mengaji dan mujahadah. Maka beliau pun memberi nama untuk kelompok mujahadahnya, yaitu JAMMU JAAS (Jama’ah Mujahadah Jabalul Asror). Ketika ditanya apa filosofi dari nama JAMMU JAAS tersebut, beliau menjawab. “Biarkan orang yang menerjemahkannya, karena itu adalah bagian dari rahasia hidup saya”.  (tobe continue)

Penulis: E. Sumaryati
Editor: Ibenzani.H



Tidak ada komentar:

Posting Komentar