Sebuah pengantar:
Pada kesempatan ini,
admin berkesempatan menulis catatan Perjalanan SMP Takhassus Al-Qur’an Filial
Pagedangan. Catatan dibagi menjadi tiga bagian, bagian pertama tentang sosok
perintis, bagian kedua awal mula perjalanan, dan bagian ketiga bagaimana SMP
Takhassus Al-Qur’an Filial Pagedangan menjawab tantangan zaman yang semakin
bergulir. Selamat membaca dan semoga bermanfaat.
Part 1
Mengenal Kyai Thoharun Al Assyadz
“Bacalah tanda-tanda alam, bacalah dirimu
sendiri, bacalah sejarah, bacalah apapun, yang penting ‘bismi rabbika’ (dengan nama Tuhanmu).”
Kutipan yang banyak diyakini
sebagian ulama dalam menafsirkan perintah ‘Iqra’
ini sengaja dihadirkan untuk membuka kisah perjalanan Kyai Thoharun Al Assyadz. Kyai yang merintis berdirinya SMP
Takhassus Al-Qur’an Filial Pagedangan ini dibesarkan alam dan ditempa keadaan. Sebuah
lagu ejekan semasa kanak-kanak selalu saja membuatnya tertawa hingga saat ini, ‘Budin opo telo, Wahudin ndase dowo’.
Saat itu, anak-anak bernyanyi sambil tertawa sembari menunjuk-nunjuk gudik bernanah di kepala Kyai Thoharun kecil. Sampai saat ini, bekas gudiknya masih bisa dilihat di balik
lebat rambut ikalnya yang panjang. Tetapi, bekas luka akibat “diremek kehidupan”, malah tidak tampak
pada diri kyai gondrong ini. Sebaliknya, beliau selalu tampak begitu yakin dan
‘bungah’ dengan kehidupan yang beliau
jalani.
Kyai Thoharun Al Assyadz saat bersama siswa SMP Takhasus Pagedangan saat memeriahkan penutupan classmeeting [dok: SMP Taq FP] |
Tapi siapa sangka, Kyai Thoharun
kecil yang dulu gudiken, ngompolan dan penyakitan mampu mendirikan pondok pesantren
putra/putri Matholi’ul Anwar Wonosobo dan SMP Takhassus Al Qur’an Filial
Pagedangan. Bahkan, di tahun ajaran mendatang, beliau berencana mendirikan MA
Matholi’ul Anwar Wonosobo. Dan ketika ditanya, sesungguhnya apa kelebihan pak
kyai hingga bisa mendirikan ponpes dan juga sekolah? Maka dengan bangga beliau
menjawab. “Kelebihan saya? Kyai mana yang rambutnya gondrong? Cuma saya,”
ungkapnya dengan suara sedikit berat tapi lantang dan seringkali diikuti gelak
tawa nyaring.
Kyai Thoharun kecil lahir di Dusun Kunci, Kecamatan Kertek,
Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah dari pasangan Jamroh dan Siti Aminah. Beliau
adalah anak terakhir dari 5 bersaudara. Di usianya yang masih belia, beliau
sudah tertarik mengamati orang-orang di sekelilingnya. Dengan kemampuan berpikir
seorang anak kelas 3 SD, beliau membuat sebuah kesimpulan yang menjadi titik
tolak pencariannya dalam hidup. “Bahwa orang yang biasa ibadah, hidupnya
nyaman, damai. Sedangkan banyak orang yang tidak ibadah hidupnya tidak tenang,
meski hartanya berlimpah. Kebanyakan dari mereka hidupnya busik. Nah, maka saya memutuskan untuk jadi orang yang hidup damai,
mulailah saya ngaji”. Semenjak itu, Kyai Thoharun kecil kemudian rajin mengikuti
kelompok-kelompok pengajian di desanya.
Kyai Thoharun Al Assyadz saat bersama siswa SMP Takhasus Pagedangan saat memeriahkan penutupan classmeeting [dok: SMP Taq FP] |
Ketika memasuki jenjang
pendidikan MTs tahun pertama, beliau memutuskan untuk meninggalkan bangku
sekolah. Kemudian timbullah niatnya untuk nyantri. Namun pada waktu itu,
seorang tetangga justru berceloteh tentang kakak Kyai Thoharun yang baru saja pulang dari nyantri di pondok
pesantren. ‘Mondok suwe-suwe balik mangan
opo? (Nyantri lama-lama pulang makan apa?)” Kyai Thoharun yang beranjak remaja menyikapi pertanyaan itu
dengan positif. Di dalam benaknya beliau menjawab ‘aku tak mondok wae, ben muleh iso mangan watu! (aku mau nyantri
saja, biar pulang bisa makan batu!)’ Kyai Thoharun yang saat itu hidup hanya dengan ibu-nya,
karena sang bapak menikah lagi, memilih berhenti sekolah dan memantapkan niat
nyantri di Pondok Pesantren At-Thayyib, Salaman, Magelang.
Tiga hari menjadi santri, beliau
langsung mendapatkan sebuah ujian. Kyai pengasuh pondok kala itu mewajibkan
setiap santri untuk berbahasa krama pada orang tua masing-masing. Perintah kyai
waktu itu menjadi beban tersendiri baginya. Seumur hidup, beliau tidak pernah ‘basa’ dengan orang tuanya. Di hari kelima,
bapaknya datang untuk menjenguk. Ia pun menemui bapaknya dengan perasaan campur
aduk. Beliau nekad akan ‘basa’ dengan
bapaknya. Maka saat menjemput sang bapak di pemberhentian bus, beliau segera menyapa
dengan basa jawa halus. Namun, baru satu kalimat ‘basa’ yang keluar dari mulutnya, tawa sang bapak langsung pecah. Seketika
itu pula, karena malu, Kyai Thoharun pun
kembali menggunakan bahasa sehari-harinya. Sambil di dalam hatinya terus
meminta maaf pada sang Kyai.
Bu Nyai Ustadzah Mahmudah bersama putra putrinya. [Dok: SMP Taq FP] |
Jika pulang ke rumah, sebelum
sampai di rumah dan berbicara dengan orang tuanya, beliau meminta kakaknya
untuk mengatakan pada orang tuanya agar tidak banyak berbicara kepadanya.
Karena beliau tidak mau melanggar perintah sang Kyai, maka jika di rumah beliau
sebisa mungkin berbahasa krama. Meski kata yang beliau ucapkan hanyalah ‘inggih’,
‘mboten’, ‘dereng’, ‘sampun’ dan sebagainya. Semua tak luput dari sikap hormatnya
pada sang Kyai.
Tidak lama nyantri di Salaman, Kyai
Thoharun memutuskan untuk pindah ke
Tegalrejo. Beliau masuk ke Asrama Perguruan Islam (API). Di ponpes yang
disebut-sebut pernah menjadi tempat nyantri Gus Dur ini, Kyai Thoharun banyak mengambil pelajaran. Kebiasannya
mengamati dan membaca tidak pernah hilang. Beliau melihat kekuatan API berasal
dari kekompakan keluarga KH. Chudlori bin Chudori. Dalam hati Kyai Thoharun selalu mencatat, “maklum API besar, karena
keluarganya kompak, guyup rukun, dan bersatu”.
Kyai Thoharun saat mendampingi lomba fashion show dalam rangka class meeting. [Dok: SMP Taq FP] |
Selanjutnya, Kyai Thoharun memilih untuk melakukan perjalanan. Pada tahun
1987-1988 Kyai Thoharun sudah berada di
Batu Ampar, Madura. Perjalanan selanjutnya adalah Surabaya. Dari Surabaya, beliau
pindah ke Jember kemudian Tasikmalaya. Beliau melakukan perjalanan kurang lebih
3 tahun. Sebagian besar perjalanannya diisi dengan ziarah. Satu keyakinan yang
bisa membuatnya kuat melakukan perjalanan adalah, beliau selalu mempunyai
prasangka baik pada Allah. Dan menurutnya, cara mendapatkan kebaikan itu belum
tentu di tempat yang baik. Maka perjalanan demi perjalanan beliau lalui.
Pulang dari perjalanan, beliau
kembali ke dusunnya, Kunci. Kala itu, satu dua dan tiga temannya datang
berkunjung. Ada yang mengajak berdiskusi, share
masalah, atau sekadar berbincang-bincang. Tetangga pun mulai bergunjing. Hingga
sebuah julukan diberikan pada Kyai Thoharun. ‘Kyai Thoharun gaweane
ongkang-ongkang, nek ora ono tamu ora iso mangan’ (Kyai Thoharun itu pekerjaannya nganggur, kalau nggak ada
tamu nggak bisa makan). Bukan Kyai Thoharun jika tidak menyikapi semua dengan positif. Beliau
menjadikan gunjingan tetangga itu sebagai sebuah motivasi. Maka ia pun makin
sering berkumpul-kumpul dengan teman-temannya. Dengan orang-orang yang
seringkali datang ke rumahnya.
Ketika beliau pindah ke Bendosari,
rumahnya kerap kali dipenuhi orang. Dari satu dua orang, lambat laun bertambah
hingga mencapai 500 an orang. Kegiatan pun bertambah, dari awalnya yang hanya
berkunjung, bertambah kegiatan mengaji dan mujahadah. Maka beliau pun memberi nama
untuk kelompok mujahadahnya, yaitu JAMMU JAAS (Jama’ah Mujahadah Jabalul Asror).
Ketika ditanya apa filosofi dari nama JAMMU JAAS tersebut, beliau menjawab. “Biarkan
orang yang menerjemahkannya, karena itu adalah bagian dari rahasia hidup saya”. (tobe
continue)
Penulis: E. Sumaryati
Editor: Ibenzani.H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar